Cinta dalam diam
Tulisan ini lanjutan dari ceritaku sebelumnya terkait sepakbola dan olahraga. Di pesantren As-Salam aku juga pernah ikut ekskul sepak bola. Nama ekskulnya PERSAS (Persatuan Sepakbola Santri As-Salam). Alhamdulillah aku masuk tim inti. Beberapa kali juga ikut turnamen, tapi ngga ada yang juara. Menurutku memang latihan kami kurang efektif dan pelatihnya juga kurang berpengalaman. Karena dari turun temurun yang melatih selalu kakak tingkat yang dianggap jago main bolanya. Padahal tidak semua yang jago main bola, jago juga jadi pelatih.
Ada yang jago main tapi waktu ngelatih ngga terlalu jago seperti Thierry Henry. Ada juga yang mainnya ngga jago-jago amat tapi pas jadi pelatih dia jago, seperti Jurgen Klopp. Ada yang jago main dan juga jago pelatih seperti Zidane dan itu sangat jarang sekali. Yahh begitulah kehidupan, sulit mencari yang sempurna. Sesulit mencari pasangan hidup. #ehhh.
Seingatku, tidak ada prestasiku yang bisa kubanggakan dalam bermain bola kecuali ketika aku ngajak ibu buat nonton aku main bola minisoc di Kemang dan saat itu aku bisa nyetak gol lewat sundulan. Seketika itu aku berasa menjadi bintang dan aku sangat senang sekali. Kebetulan Ibuku sedang main ke Jakarta karena kakakku waktu itu baru saja melahirkan.
Selain olahraga sepakbola, waktu aku kecil juga sering bermain tenis meja. Ayahku rupanya jago juga main tenis meja. Bahkan aku dulu sering mau nangis karena selalu kalah melawan ayah.
Waktu itu ayahku membelikan meja tenis meja. Meja itu seingatku dibuat oleh tukang yang ada di depan kuburan SD atas dengan harga kalau tidak salah sebesar Rp 750.000. saat itu meja tenisku termasuk yang bagus, karena dibuat dari kayu yang lebih tebal dibandingkan meja tenis yang lain waktu itu.
Bahkan aku juga pernah ikut seleksi tenis meja di SD dulu. Tapi waktu itu tidak lolos, karena memang banyak teman-teman yang lebih hebat dan jago. Salah satunya sahabat dekatku si Fadli dan juga saudara seperkerinciannya yaitu Hanif. Walaupun demikian, aku sangat senang dibelikan ayah meja tenis. Walaupun sekarang mejanya sudah entah kemana.
Ayah juga pernah membelikanku dan kakakku raket bulutangkis. Ahh rasanya senang sekali waktu itu. Ayah selalu berusaha memenuhi apa yang diinginkan anak-anaknya selama itu positif. Itulah ayahku, ia membuktikan rasa cinta dan sayangnya bukan dengan kata-kata, tapi langsung dengan tindakan nyata.
Cilodong, 25 Agustus 2022
Komentar
Posting Komentar