Bahasa itu Budaya




Suatu kelebihan yang harus disyukuri oleh mahasiswa jurusan Tarjamah bahasa Arab. karena selain kita dituntut untuk memahami seluk beluk teori penerjemahan dan ilmu bahasa arab itu sendiri, kita juga dituntut untuk mempelajari ilmu Linguistik atau ilmu yang mempelajari tentang bahasa. Tidak akan sempurna terjemahan yang kita miliki jika kita hanya memahami salah satu bahasa saja. Karena salah satu syarat kegiatan penerjemahan adalah melibatkan dua bahasa : Bsu dan Bsa.[1] Sehingga mau tidak mau, selain kita harus memahami Bahasa Sumber (B. Arab) kita juga harus memahami teori-teori atau kaidah yang ada di Bahasa Sasaran (B. Indonesia).
Berdasarkan itu semua, saya mencoba untuk sedikit membahas mengenai ilmu bahasa itu sendiri atau yang lebih dikenal dengan Linguistik. Akan tetapi, pada kesempatan kali ini saya akan membatasi pembahasan saya hanya berkenaan dengan Bahasa itu adalah budaya (Al-Lughah Tsaqa:fah). Sehingga pembahasan ini lebih terfokus mengenai hal tersebut saja. Sebelum kita jauh membahas itu semua, akan lebih baiknya jika kita mengetahui beberapa pengertian Bahasa dan Budaya dari beberapa ahli dan pakar bahasa.
Linguis Arab zaman kuno yang paling berpengaruh pada masa lalu dan turut mempengaruhi struktur pemikiran linguistik modern seperti Ibn Jinn (w. 392 H) mendefinisikan bahwa bahasa adalah bunyi yang dipergunakan setiap komunitas untuk mengungkapkan maksud dan tujuan.[2]
Ada juga para linguis Arab zaman modern Seperti salah satunya ialah Al-Khuli. Ia juga mendefinisikan bahwa bahasa merupakan sistem yang arbitrer yang mewakili simbol bunyi yang dipergunakan untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan antarindividu yang menggunakan bahasa yang sama.[3] Linguis seperti Al-Khuli ini sudah banyak terpengaruhi ilmunya dari para linguis barat. Adapun beberapa tokoh linguis barat yang sangat berpengaruh dan sering disebut di buku-buku linguistik Arab dalam perbincangan mengenai definisi bahasa, seperti de Saussure, Sapir dan Chomsky.
Selanjutnya Pei & Gaynor mendefinisikan bahasa sebagai satu sistem komunikasi dengan bunyi, yaitu lewat alat ujaran dan pendengaran, antara orang-orang dari kelompok atau masyarakat tertentu dengan mempergunakan simbol-simbol vokal yang mempunyai arti arbitrer dan konvensional. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Wardhaugh bahwa bahasa adalah satu simbol vokal yang arbitrer yang dipakai dalam komunikasi manusia.[4]
Selain definisi-definisi di atas Kridalaksana dan Djoko Kencono dalam modul milik Maliastuti juga menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri.
Terlepas dari banyaknya definisi mengenai bahasa tersebut, setidaknya terdapat beberapa karakteristik bahasa yang diungkapkan. Salah satunya sebagaimana yang terdapat dalam buku Cakrawala Linguistik Arab ialah bahwa bahasa itu adalah Budaya.
Budaya menurut KBBI offline atau luring ialah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Sedangkan kebudayaan sendiri adalah hasil dari kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istidat.
Budaya dan bahasa tidaklah dapat dipisahkan. Karena keduanya saling melengkapi dan sangat erat hubungannya. Ibarat sekeping mata uang logam; Sisi yang satu adalah bahasa dan sisi yang lainnya adalah kebudayaan. Dalam sejarah linguistik, terdapat hipotesis yang sangat terkenal yang sering disebut dengan hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa bahasa sangatlah mempengaruhi kebudayaan.[5]
Budaya sangat mempengaruhi bahasa terutama dari segi makna. Budaya dapat merubah makna yang artinya luas menjadi makna yang bermakna sempit dan juga sebaliknya, sehingga tidak cukup bagi pengajar bahasa Arab misalnya hanya sekedar memahami teori bahasa Arab nya saja. Akan tetapi mereka juga dituntut untuk harus mengerti budaya Arab itu sendiri. Sehingga tidak terjadi salah paham dalam mengartikan suatu kata atau ta’bir (ungkapan). Contoh kalimat Silaturahiim dalam budaya Indonesia bermakna mengikat tali persaudaraan kepada sanak saudara, teman, sahabat atau komunitas. Berbeda dengan budaya Arab, Kata Silaturahiim berarti menjalin hubungan hanya kepada saudara yang sedarah atau serahim saja. Kemudian contoh lain yaitu kata Ziarah dalam budaya Indonesia hanya identik dengan kunjungan ke tempat keramat atau makam. Akan tetapi berbeda dengan budaya Arab, kata tersebut bermakna kunjungan secara umum. Bisa kunjungan ke rumah teman atau kunjungan menjenguk orang sakit atau kunjungan ke suatu tempat wisata tertentu.
Kemudian juga bahasa itu dapat timbul akibat dari budaya suatu daerah tersebut. Contohnya ialah Sebagaimana kita ketahui di Indonesia dikenal dengan namanya santri. Santri adalah orang yang dikenal belajar di pondok pesantren. Karena di Indonesia sangat terkenal dengan budaya nyantri nya. Sehingga timbul lah ungkapan ini. Akan tetapi di Arab sana tidak dikenal dengan ungkapan atau bahasa santri ini. Contoh lain seperti kata halal bi halal yang sering kita dengar ketika lebaran. Kata tersebut muncul karena budaya kita yang sering melakukan proses saling memaafkan ketika lebaran. Sehingga timbullah ungkapan atau bahasa tersebut. Sehingga bisa kita pahami bahwasanya bahasa yang muncul tidaklah terlepas dari pengaruh budaya daerah tersebut.
            Di buku Linguistik Umum karangan Abdul Choer juga dituliskan bahwa kenyataan membuktikan, bahwa masyarakat terpencil memiliki kosa kata jauh lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat terbuka atau aktif (memiliki kegiatan yang sangat luas). Sehingga dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dari budaya yang ada dapat timbul suatu bahasa.


[1] Moch. Syarif Hidayatullah, Jembaatan Kata: Seluk-beluk penerjemahan Arab-Indonesia (Jakarta:PT Grasindo, 2017), hlm. 2.
[2] Moch. Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab (Jakarta:PT Grasindo, 2017), hlm. 1.
[3] Ibid., hlm. 2.
[4] Liliana Maliastuti, “Bahasa dan Linguistik”, diakses dari  http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/PBIN4101-M1.pdf, pada tanggal 28 Oktober 2017 pukul 16.00
[5] Chaer, Abdul, Linguistik Umum (Jakarta:Rineka Cipta, 2014), hlm. 70.


Komentar

Postingan Populer